Oleh: Muchamad Arifin, Mahasiswa Program Doktor (S3) Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
Langkah kaki ini akhirnya tiba di tanah yang lama saya dengar dalam cerita – wilayah adat Suku Baduy, di pelosok Lebak, Banten. Sebuah perjalanan panjang yang bukan sekadar menempuh jarak, tetapi juga menyelami makna. Sebagai mahasiswa doktoral Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, saya datang dengan semangat ilmiah, namun yang saya temukan di sini jauh lebih dalam dari sekadar data dan teori.

Saat memasuki kampung mereka, sambutan hangat dari para tokoh adat begitu menyentuh. Dengan wajah teduh dan tutur halus, mereka menerima kedatangan kami dengan penuh keramahan. Tidak ada kecurigaan, tidak ada jarak — hanya ketulusan. Di tengah perbedaan keyakinan dan cara hidup, mereka membuka pintu hati dan rumahnya bagi seorang peneliti yang datang dari jauh.
Saya tertegun. Inilah wajah asli kemanusiaan: sederhana, bersahaja, namun begitu dalam maknanya. Kami berbincang di bale bambu, ditemani angin gunung dan secangkir teh hangat. Dari tutur mereka, saya belajar bahwa kebijaksanaan tidak selalu lahir dari bangku akademik; sering kali ia tumbuh dari kesetiaan menjaga harmoni dengan alam dan sesama manusia.

Di tengah kesunyian kampung, saya merenung — bahwa perbedaan bukanlah tembok pemisah, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan memahami. Di tanah Baduy ini, saya menemukan kembali nilai-nilai yang sering terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern: ketulusan, kesederhanaan, dan kedamaian dalam menjalani hidup apa adanya.
Perjalanan penelitian ini mengajarkan saya bahwa ilmu sosiologi sejati tidak hanya berbicara tentang struktur sosial dan teori perubahan, tetapi juga tentang hati manusia yang mampu menerima perbedaan dengan damai.
Saya pulang membawa lebih dari sekadar catatan lapangan — saya membawa pelajaran tentang kehidupan, tentang bagaimana memahami tanpa menghakimi, dan mencintai tanpa harus menyeragamkan.