“Akan merasakan manisnya iman, siapa yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya.” (HR. Muslim)
LENSADAKWAH.COM – Surabaya, Rabu 30 Juli 2025 — Suasana pagi di Masjid At-Taqwa Pogot Surabaya terasa berbeda dari biasanya. Hembusan angin sejuk dan cahaya mentari yang hangat seolah menyambut sebuah momen istimewa. Seperti biasa, para jamaah datang usai Shalat Subuh untuk mengikuti kajian rutin yang diasuh oleh Ustadz Muchamad Arifin. Namun pagi ini, langit cerah itu menjadi saksi dari dua jiwa yang kembali menemukan cahaya.

Adalah Giri Maruto Cokro dan Fionia Rosa Regina Larasaty, dua hamba Allah yang dengan penuh keyakinan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan jamaah. Ucapan mereka tidak hanya menggema di ruang masjid, tapi juga mengetuk pintu-pintu hati. Beberapa jamaah tampak menunduk, mengusap air mata haru. Sebuah peristiwa yang sederhana namun sarat makna: ikrar kembali kepada fitrah, kepada Tuhan Yang Esa, kepada Islam yang membawa damai.
Mengambil momen indah ini, Ustadz Arifin menyampaikan kajian bertema “Resep Merasakan Lezat dan Manisnya Iman.” Beliau mengawali dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“Akan merasakan manisnya iman, siapa yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya.” (HR. Muslim)
“Ikhlas mengucap syahadat itu langkah awal,” ujar beliau, “Namun untuk merasakan manisnya iman, kita perlu membenamkan syahadat itu ke dalam hati, pikiran, dan tindakan.” Dengan tutur yang tenang namun menusuk relung batin, Ustadz Arifin mengajak jamaah merenungi tiga hal penting dari hadits tersebut.

Dua hamba Allah yang barusan ikrar fua kalimat syahadat foto bersama pengurus takmir usai ikrar
Pertama: Ridha Allah sebagai Rabb.
“Artinya, kita menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Allah,” jelas beliau. Bukan pasrah tanpa usaha, tapi percaya sepenuhnya pada rencana-Nya, baik saat diuji maupun diberi nikmat. Ia lalu mengutip QS. Al-Baqarah: 162:
“Dan Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
“Ridha itu rasa nyaman dan tenang dalam pelukan takdir, karena kita tahu, Allah tidak pernah salah memilih jalan hidup hamba-Nya,” ucapnya.
Kedua: Ridha Islam sebagai Agama.
“Banyak yang mengaku Muslim, tapi tidak ridha dengan ajaran Islam,” tegas beliau, “Padahal Islam itu bukan beban, tapi rahmat.” Beliau lalu membacakan QS. Ali Imran: 85:
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya.”
Menurut beliau, menerima Islam berarti siap hidup dalam panduan Allah—dalam ibadah, dalam akhlak, dalam muamalah. “Semakin kita tunduk, semakin terasa ringan dan manis,” katanya.
Ketiga: Ridha Muhammad sebagai Nabi.
Dengan penuh kelembutan, beliau menyampaikan bahwa mencintai Nabi bukan cukup dengan shalawat semata. Tapi bagaimana menjadikan Rasulullah sebagai teladan utama dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengutip QS. Ali Imran: 31:
“Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintaimu…”
“Meniru Nabi dalam sabar, dalam akhlak, dalam kebaikan. Itulah bentuk cinta sejati,” ujarnya.
Menjelang akhir kajian, suasana semakin hening dan khusyuk. Tak banyak kata, hanya diam yang dalam. Lalu Ustadz Arifin menunduk, dan memimpin doa yang menembus langit hati:
“Ya Allah… tanamkan dalam hati kami rasa ridha yang sempurna kepada-Mu sebagai Rabb kami. Kuatkan langkah kami agar tetap berada di jalan Islam hingga akhir hayat. Jadikan kami hamba yang mencintai Rasul-Mu bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan teladan hidup kami. Ya Allah… karuniakan kami kelezatan iman dalam hati, keteguhan dalam ketaatan, dan kecintaan yang mengantarkan kami ke surga bersama Nabi-Mu tercinta. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.”
Tak sedikit jamaah yang menyeka air mata. Seolah pagi itu, iman kembali disiram dan disegarkan. Masjid At-Taqwa pagi ini tidak hanya menjadi tempat berkumpul, tapi ruang suci di mana ruhani bertemu kembali dengan Tuhannya.