Lensadakwah.com – Tujuh Delapan tahun silam bangsa Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Tepatnya pada hari Jumat pukul 10 pagi yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Peristiwa kemerdekaan telah diperingati oleh masyarakat diseluruh penjuru Indonesia mulai dari Sabang sampai Meraoke, mulai dari kampung di desa-desa hingga Istana Merdeka.
Tapi ada yang harus kita ingat bersama bahwa kemerdekaan adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam bunyi alinea ketiga pembukaan UUD 1945,”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya
Hal di atas yang ditegaskan oleh ustad Muchamad Arifin dalam ceramahnya di malam tasyakuran warga kampung Platuk Donomulyo RT 01 RW 13 kelurahan Sidotopo Wetan Surabaya.
Merdeka itu bukan sebuah kebebasan tanpa batas, tetapi merdeka itu adalah bebas yang terbatas. Jelasnya ustad Arifin di depan warga.
Indinesia yang di dalamnya penuh dengan keanekaragaman budaya, suku, agama dan warna kulit yang berbeda-beda harus tetap utuh dan satu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Artinya meskipun berbeda tetapi tetap satu Indonesia
Toleransi harus kita junjung tinggi ditengah keanekaragaman yang ada di negara kita Indonedia. Karena kalau tidak, akan terjadi perpecahan ditengah perbedaan.
Lima sila yang tertuang di lambang negara burung garuda harus dijalankan sebagai warga negara Indonedia bukan hanya kita hafal saja.
Ceramah yang dimulai dengan pemutaran potongan vidio ketika detik-detik proklamasi kemerdekaan hingga puncak terjadinya proklamasi menjadikan warga yang hadir dalam peringatan HUT kemerdekaan RI ke-78 tersebut nampak penuh hikmad.
Lebih-lebih saat ustad Arifin mengajak menyanyilan lagu Bagimu Negeri secara bersama-sama menambah suasana lebih hening di malam tasyakuran tersebut.
Mewaspadai Lawan Tanpa Wajah
Lawan tanpa wajah lebih berbahaya dari pada lawan tampak wajah. Jelas ustad Arifin kepada warga yang hadir di malam tasyakuran HUT RI tersebut.
Kita sekarang hidup di dunia virtual. Dimana semua aktivitas manusia dinjalankan dengan menggunakan teknologi robot yang serba digital dan termasuk dalam melakukan penjajahan.
Kalau di era perang dunia ke dua semua lawan tampak jelas dengan datangnya pasukan lawan tetapi sekarang ini sudah berbeda. Kenapa? Karena lawan telah menggunakan media virtual berbasih online sehingga siapa kawan dan siapa lawan tidak lagi bisa dilihat oleh mata.
Amonisi perang modern super canggih (proxycwar) tidak lagi menggunakan senjata yang nampak di mata seperti senjata api dan pasukan tentara, tetapi cukup menggunakan isu-isu yang ditebar di dunia medsos, maka akan terjadi perang saudara, saling membenci, saling bermusuahan dengan tidak menyadari bahwa semua itu adalah cara perang yang dilakukan oleh lawan tanpa wajah.
Berita-berita hoax dan ujaran kebencian termasuk saling menghujat adalah bagian isu yang sangat berbahaya untuk merawat kebhinekaan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Amonisi lainnya yang harus kita waspadai adalah terkait dengan modus peredaran narkoba. Narkoba adalah bagian dari amonisi perang modern untuk menghancurkan generasi muda kedepannya.
Data di Badan Narkotika Nasional (BNN) setiap jamnya ada dua pengguna narkoba mati sia-sia dalam setiap jamnya. Ini merupakan kurban yang membawa dampak kematian terbesar yang tidak ada lawannya.
Semua penjelasan di atas telah ditayangkan melalui vidio visual yang menjadikan para warga bisa mengikutinya dengan tenang tanpa bergeming dari tempat duduknya hingga acara berakhir.
Sebelum mengakhiri ceramahnya ustad Arifin mengajak menyanyi bersama sebuah lagu yang berjudul “Damai Ditengah Perbedaan“.
Sumber : Kontributor lensadakwah.com