LENSADAKWAH.COM. Nganjuk – Sabtu, 27 Desember 2025, menjadi hari ketiga yang penuh makna dalam rangkaian kegiatan Darul Arqam yang diselenggarakan oleh Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PDM Nganjuk. Bertempat di Aula Jenderal Sudirman SMK Muhammadiyah 1 Nganjuk, kegiatan berlangsung dalam suasana hangat dan dinamis—memadukan pendalaman ideologi, dialog reflektif yang cair, serta diskursus strategis pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), khususnya di bidang pendidikan.

Sesi pembuka diisi oleh Imam Fanani Yudho P., S.Pd.I., yang mengupas Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Suasana kelas yang semula serius perlahan mencair ketika Manggala, ketua kelas, melontarkan pertanyaan sederhana namun sarat makna: “Apa pengalaman paling berkesan selama bermuhammadiyah?”
Dengan senyum bersahaja, Imam Fanani menjawab, “Hampir semuanya berkesan, karena hidup saya sudah tersinari oleh Muhammadiyah.” Ia kemudian mengenang proses kaderisasi yang pernah ia jalani di Lembang, di kaki Gunung Tangkuban Parahu—sebuah fase penting yang mempertemukannya dengan tokoh-tokoh nasional yang kini dikenal luas, seperti Raja Juli Antoni, Ph.D. dan Prof. Hilman Latief, Ph.D.
Dalam pemaparannya, Imam Fanani menegaskan pentingnya peran guru dan karyawan sebagai uswah hasanah di lingkungan sekolah. Ia mengingatkan bahwa adab dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Bahkan dalam situasi perang sekalipun, Islam melarang perusakan tanaman, pembunuhan hewan ternak, serta tindakan kekerasan terhadap anak-anak, perempuan, dan mereka yang tidak terlibat peperangan.
Pembahasan semakin mendalam ketika materi memasuki nilai ihsan dan ikhlas. Mengutip hadis Rasulullah SAW, Imam Fanani menjelaskan bahwa ihsan adalah puncak kesadaran spiritual—beribadah seolah-olah melihat Allah, dan bila tidak mampu, meyakini sepenuh hati bahwa Allah senantiasa melihat. Adapun ikhlas ia sampaikan dengan filosofi Jawa yang sederhana namun mengena, “Ikhlas itu setan ora doyan, demit ora dulit, tuyul ora gandul.” Sebuah ungkapan ringan yang mengandung pesan mendalam: ketulusan adalah benteng terkuat manusia dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi.
Sesi terakhir diisi oleh dr. Kasbun Allah, Ketua Dikdasmen dan PNF PDM Nganjuk, yang membedah secara lugas problematika sekaligus peluang pengembangan AUM pendidikan. Dengan gaya komunikatif dan penuh pengalaman, ia menegaskan bahwa kunci utama kemajuan pendidikan terletak pada kekuatan Sumber Daya Insani (SDI)—yang tidak hanya unggul secara profesional, tetapi juga kokoh secara spiritual.
Ia mengisahkan perjalanan para ilmuwan besar, termasuk penemu ilmu Aljabar, yang memulai pengembaraan keilmuannya dari pendalaman Al-Qur’an dan tafsir. Kisah ini menjadi penegasan bahwa fondasi spiritual adalah akar bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan. Dalam konteks penerimaan peserta didik baru, dr. Kasbun juga menekankan pentingnya membangun silaturahmi, bahkan melalui hal-hal sederhana—seperti “mentraktir kopi di warung”—yang sering kali menjadi pintu terbukanya kepercayaan masyarakat.
Namun, satu pesan utama terus ia gaungkan, “Innamal a‘malu binniyat. Niatkan semua karena Allah, bukan karena manusia. Bukankah cita-cita tertinggi kita adalah masuk surga?”
Ia pun berbagi kisah personal tentang pilihan hidupnya. Meski pernah diterima di jurusan Migas UPN dan memiliki peluang bekerja di PT Caltex, ia memilih mengikuti nasihat sang ayah untuk menjadi dokter. Pilihan itu menuntut pengorbanan besar—biaya pendidikan yang kala itu setara dengan harga sebuah Vespa PX 150. Ketaatan dan pengorbanan itulah yang mengantarkannya pada jalan pengabdian yang ia jalani hingga hari ini.
Menutup sesi, dr. Kasbun menitipkan pesan mendalam: jangan tergesa-gesa mendidik anak agar sekadar pintar, tetapi tanamkan terlebih dahulu kejujuran dan niat ibadah lillahi ta‘ala. Dengan nada hangat, ia juga membuka ruang konsultasi bagi para peserta—mulai dari persoalan pendidikan, ekonomi, hingga jodoh, bahkan menawarkan layanan pengobatan gratis bagi yang membutuhkan.
Hari ketiga Darul Arqam pun ditutup dengan kesan yang kuat: kader Muhammadiyah tidak hanya dituntut cerdas dan profesional, tetapi juga ikhlas, jujur, dan siap mengabdi sepenuh hati demi umat dan persyarikatan.
Penulis Luqman Nurudin
Editor M. Khoirul Anam