Lensadakwah.com – Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter.
Telah terjadi konjungsi atau ijtimak. Ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam. Pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut :
Pertama
Berdasar dari wakyu Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat :
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٖ
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. QS. Ar-Rahman: 5
Ayat di atas bukan sekedar menginformasikan, bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلشَّمۡسَ ضِيَآءٗ وَٱلۡقَمَرَ نُورٗا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعۡلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلۡحِسَابَۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. QS. Yinus: 5
Kedua
Lalu jika wahyu al Qur’an menyebut hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat?
Menurut Rasyid Ridho dan Mustafa AzZarqa, bahwa perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.
Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan *jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qaradhawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana.
Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan, bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga.
Dengan rukyat saja umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1.
Dr. Nidhal Guessoum (Astrofisikawan dari Aljazair / Professor di American University of Sharjah, Uni Emirat Arab)* menyebut *suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat
Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi.
Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar.
Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima.
Jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan:
Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.
Catatan :
Materi di atas disarikan dari ceramah Ramadhan oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dalam pengajian ramadan PP Muhammadiyah tahun 1431 H di UMY.
Tulisan ini dibuat sebelum penetapan Kalender Islam Global yang ditetapkan pada tahun 2016. Pada tahun 2016 Badan Urusan Agama Republik Turki menyelenggarakan Seminar Internasional Penyatuan Kalender Hijriyah. Hasil voting dari peserta seminar tersebut mendapat respon positif, mayoritas menyetujui untuk segera diberlakukannya Kalender Islam Global.
Menurut Prof. Syamsul, tidak mungkin mewujudkan kalender Islam global kecuali dengan menggunakan hisab sebagaimana kita menggunakan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat.*
Hisab memang tidak menjadi metode utama yang digunakan Nabi Muhammad tatkala meninjau awal bulan, namun isyarat-isyarat di dalam literatur al-Quran dan al-Hadis telah menunjukkan bahwa hisab merupakan metode yang kuat secara nash.
Pada tahun 2009, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menerbitkan buku pedoman hisab Muhammadiyah.
Sumber: Hasil berselancar di dunia online