LENSADAKWAH.COM – Ucapan-ucapan tradisional dalam Hari Raya Idulfitri seperti “Taqabbalallahu minna wa minkum” dan “Minal ‘aidin wal faizin” punya sejarah dan latar belakang yang menarik, baik dari sisi agama maupun budaya.

Hal di atas yang disampaikan ustad Muchamad Arifin dalam kajian Rabu ba’da Shubuh Pasca Ramadhan 1446 H. Di Masjid At-Taqwa Pogot Surabaya. Rabu, 16 April 2025.
Ucapan Lebaran: Antara Tradisi, Doa, dan Budaya
“Selamat Hari Raya Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin.”
Kalimat itu pasti akrab di telinga kita setiap kali Lebaran tiba. Tapi, pernah nggak sih kamu mikir, kenapa kita pakai ucapan itu? Dari mana asalnya? Dan kenapa juga sering disambung dengan “Minal ‘aidin wal faizin” atau “Taqabbalallahu minna wa minkum”?
Lanjut ustad Arufin menjelaskan ucapan-ucapan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat pada saat Hari Raya Idul Fitri tiba.
Ucapan “mohon maaf lahir dan batin” sebenarnya khas Indonesia banget. Kalimat ini muncul dari pemahaman bahwa setelah sebulan berpuasa, kita bukan cuma ingin kembali suci di hadapan Allah, tapi juga ingin membersihkan hubungan dengan sesama. Maaf lahir artinya maaf atas kesalahan yang terlihat—kata-kata kasar, perbuatan yang menyakitkan. Sementara maaf batin itu lebih dalam—memaafkan perasaan, niat, dan prasangka yang mungkin nggak pernah diucapkan, tapi bisa melukai.
Nah, kalau yang satu ini, “Taqabbalallahu minna wa minkum”, itu kalimat dalam bahasa Arab. Artinya: “Semoga Allah menerima (amal ibadah) dari kami dan dari kalian.” Kalimat ini dulu sering diucapkan para sahabat Nabi Muhammad SAW ketika hari raya tiba. Mereka saling mendoakan, berharap puasanya diterima oleh Allah. Karena, ibadah itu kan belum tentu sah dan diterima. Jadi, mengucapkan ini sebenarnya tanda kerendahan hati: kita berdoa, bukan merasa sudah pasti lulus.
Lalu bagaimana dengan “Minal ‘aidin wal faizin”? Ini nih yang sering bikin salah paham. Banyak orang ngira itu artinya “mohon maaf lahir batin”—padahal bukan. Secara bahasa, artinya: “Semoga kita termasuk orang yang kembali (suci) dan menang (melawan hawa nafsu).” Ucapan ini sebenarnya bukan berasal dari hadits atau Al-Qur’an, melainkan dari tradisi budaya Islam di wilayah Arab, yang kemudian menyebar ke Nusantara. Di Indonesia, ucapan ini akhirnya sering dipadukan dengan permintaan maaf, padahal di aslinya enggak seperti itu.
Uniknya, ketiga ucapan ini—yang satu dari tradisi lokal, yang satu dari kebiasaan sahabat Nabi, dan yang satu dari budaya Islam klasik—berkumpul menjadi satu di momen Lebaran. Kita ucapkan bersamaan, tanpa sadar bahwa mereka punya latar belakang yang berbeda.
Tapi justru di situlah indahnya. Islam datang ke Indonesia bukan dengan memaksa, tapi menyatu dengan budaya. Ucapan-ucapan Lebaran jadi contoh nyata bagaimana ajaran Islam dan tradisi lokal bisa bersanding, saling menguatkan. Di dalamnya ada doa, ada rasa, dan ada niat untuk memperbaiki hubungan.
Jadi, lain kali saat kamu mengucapkan, “Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin. Minal ‘aidin wal faizin, taqabbalallahu minna wa minkum,” ingatlah: itu bukan cuma kalimat hafalan Lebaran. Tapi doa, harapan, dan cermin budaya yang menyatukan kita semua di hari yang fitri.
Ketupat Lebaran: Bukan Sekadar Makanan
Setiap Lebaran tiba, selalu ada satu pemandangan yang tak pernah absen dari meja makan kita: ketupat. Bentuknya unik—dibungkus janur kuning muda, dianyam rapi, dan diisi beras yang padat. Tapi tahukah kamu? Ketupat bukan cuma soal lauk dan perut kenyang. Ia menyimpan cerita panjang, tradisi luhur, bahkan pesan spiritual yang dalam.
Konon, tradisi menyajikan ketupat saat Lebaran dikenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15. Ia tahu betul bahwa dakwah tak harus selalu lewat mimbar. Bisa lewat simbol-simbol yang akrab di kehidupan masyarakat. Maka lahirlah ketupat—bukan sekadar makanan, tapi media dakwah yang membumi.
Kata “ketupat” sendiri dalam bahasa Jawa dimaknai sebagai “ngaku lepat”, yang artinya mengakui kesalahan. Di momen Idulfitri, ketika orang saling bermaaf-maafan, ketupat hadir sebagai lambang keikhlasan untuk membuka hati, mengakui kesalahan, dan memperbaiki hubungan.
Bungkusnya dari janur—daun kelapa muda—bukan tanpa makna. Janur melambangkan ketulusan, kesucian, dan harapan baru. Warna hijaunya memberi kesan segar, seolah mengajak kita memulai hidup dengan semangat yang bersih. Bentuk anyamannya yang rumit menggambarkan kekusutan hidup manusia—penuh salah, penuh dosa, penuh simpul yang tak selesai. Tapi saat dibuka? Isinya putih bersih, padat dan mengenyangkan. Seperti hati yang kembali suci setelah sebulan berpuasa dan saling memaafkan.
Dulu, di masa para wali, ketupat tidak langsung disajikan di hari pertama Lebaran. Ada tradisi yang disebut “Bakda Ketupat”, yaitu perayaan di hari ketujuh setelah Idulfitri. Saat itulah masyarakat berkumpul, bersilaturahmi, dan makan ketupat bersama sebagai simbol kebersamaan dan kemenangan spiritual. Tradisi ini masih bisa kita temukan di beberapa daerah di Jawa hingga hari ini.
Jadi kalau kamu tanya: “Kenapa sih Lebaran identik dengan ketupat?” Jawabannya bukan sekadar karena enak dimakan dengan opor atau rendang. Tapi karena ketupat adalah lambang. Ia mengajarkan kita tentang mengakui kesalahan, menyucikan hati, dan merajut kembali hubungan yang mungkin sempat kusut.
Ketupat mengingatkan kita bahwa Idulfitri bukan cuma soal baju baru dan meja penuh hidangan. Tapi tentang fitrah, tentang kembali, tentang menjadi manusia yang lebih jernih dan rendah hati.