Lensadakwah.com – Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang digelar di Kota Solo pada tanggal, 18-20 November 2022 telah lewat.
Pasca digelarnya Muktamar Muhammadiyah mari kita segera laksanakan apa yang telah menjadi amanah dalam muktamar tersebut.
Unduh Risalah Islam Berkemajuan
Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan salah satu dari produk Muktamar Muhammadiyah harus segera kita sosialisasikan ditengah masyarakat khususnya pada warga persyarikatan Muhammadiyah.
Melalui lensadakwah.com Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Muhammadiyah Jawa Timur Muchamad Arifin mengajak kepada para dai untuk menyampaikan dalam setiap ceramahnya Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan amanah dari Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo tersebut.
Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan hasil produk dari Muktamar Muhammadiyah ke-48 tidak akan memiliki manfaat lebih jika tidak disampaikan. Minimal mari kita sampaikan makna yang terkandung di dalamnya melalui media sosial kita masing-masing.
Di bawah ini merupaka kutipan dari salah satu bagian yang terdapat dalam Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, 18-20 November 2022.
KONSEP DASAR ISLAM BERKEMAJUAN
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang membawa misi Islam Berkemajuan, yang sesungguhnya sama dengan Islam itu sendiri. Apabila dipahami dan diamalkan dengan benar, Islam akan melahirkan umat yang unggul dan peradaban yang maju.
Islam berasal dari akar kata yang mengandung makna naik atau maju, sehingga Islam adalah sesungguhnya agama yang mempertinggi derajat dan memajukan kehidupan manusia, serta memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan kemerosotan akhlak.
Islam Berkemajuan meniscayakan tajdid (pembaharuan) karena dalam menjalankan ajaran agama umat Islam harus menjawab dinamika dan tantangan baru yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya.
Tajdid berfungsi memberikan penyelesaian persoalan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang memajukan kehidupan. Dalam menghadapi tantangan dan dinamika tersebut, aneka sikap telah ditunjukkan oleh umat Islam sepanjang zaman.
Sebagian menunjukkan sikap terbuka terhadap perkembangan dan meyakini perlunya penafsiran Islam agar tetap mampu menjawab tantangan zaman tanpa merubah ajaran-ajaran dasar agama.
Sesungguhnya, pembaharuan bermakna menemukan kembali hakikat agama, dan bukan ancaman bagi otentisitas ajaran agama. Dengan Islam Berkemajuan, Muhammadiyah berusaha mengurai sikap yang membelenggu pemahaman Islam dalam satu pandangan sempit yang anti-perubahan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha dan proses untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya memahami Islam sebagai agama yang senantiasa sesuai dalam memberikan kemaslahatan kepada manusia pada zaman yang terus berubah.
Dalam setiap zaman selalu ada orang atau kelompok yang menyerukan perbaikan (ishlah) atau pembaharuan (tajdid) dalam kehidupan umat Islam. Muhammadiyah hadir untuk menjalankan misi tersebut.
Dalam menjalankan misi itu, Muhammadiyah menempatkan Islam sebagai pijakan, tuntunan dan spirit dalam menapaki perubahan, yang diwujudkan oleh Muhammadiyah dalam bentuk pemikiran, gerakan dan perkhidmatan.
Karakteristik Islam Berkemajuan dalam menjalankan misi untuk mencapai cita-cita kejayaan Islam yang membawa kemaslahatan umat manusia, Muhammadiyah merumuskan beberapa ciri Islam Berkemajuan (al-Islam al-Taqaddumi). Karena Islam adalah agama yang menjadi kekuatan pendorong bagi kemajuan manusia.
Muhammadiyah mengembangkan cara pandang yang berkemajuan atas Islam yang dirumuskan dalam Karakteristik Lima (al-Khasha’ishu al-Khamsu), yakni:
Berlandaskan pada Tauhid (al-Mabni ‘ala al- Tauhid).
Tauhid adalah inti dari risalah yang dibawaoleh nabi-nabi dan titik sentral kehidupan umat, yang tidak hanya terdapat dalam keyakinan saja, melainkan juga dalam perbuatan nyata.
Tauhid sesungguhnya merupakan keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta, dan bahwa hanya Allah yang patut disembah.
Tauhid yang murni memiliki makna pembebasan manusia dari paham kemusyrikan, percampuran dan kenisbian agama.
Tauhid juga merupakan keyakinan bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah satu makhluk yang mulia, dan karena itu harus dimuliakan dan dicerahkan.
Tauhid yang murni memiliki makna pembebasan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penghisapan antar manusia.
Bertauhid berarti berjuang untuk menyemaikan benih- benih kebenaran dan kebaikan, seperti perdamaian, keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan.
Selain itu, tauhid akan membawa kepada sikap kritis saat melihat ketimpangan, ketidakwajaran dan ketidakadilan dalam masyarakat, sebuah perwujudan dari kemurnian akidah.
Tauhid yang murni menghadirkan ketulusan, dan membuang jauh-jauh kesombongan dan penggunaan segala cara untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan yang hanya berjangka pendek dalam topeng kesalehan.
Bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah).
Al-Qur’an adalah sumber utama untuk memahami dan mengamalkan Islam. Al-Qur’an menjadi sumber keyakinan, pengetahuan, hukum, norma, moral dan inspirasi sepanjang zaman.
Sunnah Rasul adalah sumber kedua setelah al-Qur’an, yang menggambarkan diri Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang harus dicontoh.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh jelas dari isi al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Dalam memahami dua sumber tersebut, diperlukan pemahaman terhadap teks- teks, pemikiran yang maju, dan ilmu pengetahuan yang luas.
Semakin tinggi akal dan luas ilmu pengetahuan yang digunakan, akan semakin kaya makna yang dapat diambil dari dua sumber tersebut.
Islam yang bersumber pada al- Qur’an dan al-Sunnah merupakan agama yang mengajarkan kebenaran (al-haqq) dan juga kebajikan (al-birr) sehingga setiap persoalan perlu dilihat dari sudut benar atau salah, dan juga dari sisi baik atau buruk.
Menghidupkan Ijtihad dan Tajdid (Ihya’ al- Ijtihad wa al-Tajdid).
Ijtihad (mengerahkan pikiran) merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami atau memaknai al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ijtihad dihidupkan melalui pemanfaatan akal dan ilmu pengetahuan yang dilakukan secara terus-menerus agar melahirkan pemahaman yang sesuai dengan tujuan agama dan dengan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia.
Ijtihad tidak berhenti pada tataran pemikiran bagaimana memahami agama tetapi juga berlanjut pada bagaimana mewujudkan ajaran agama dalam semua lapangan kehidupan, baik individu, masyarakat, umat, bangsa maupun kemanusiaan universal.
Ijtihad merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan tajdid, yang bermakna pembaharuan baik dalam bentuk pemurnian maupun dinamisasi dalam pemahaman dan pengamalan agama.
Pemurnian diterapkan pada bidang akidah dan ibadah, sementara dinamisasi (dalam makna peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya) diterapkan pada bidang akhlak dan muamalah dunyawiyah.
Tajdid diperlukan karena pemahaman agama selalu menghadapi tantangan zaman dan situasi masyarakat yang terus berubah. Tajdid adalah upaya dalam mewujudkan cita-cita kemajuan dalam semua segi kehidupan, seperti pemikiran, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan.
Mengembangkan Wasathiyah (Tanmiyat al- Wasathiyah).
Al-Qur’an menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat tengahan), yang mengandung makna unggul dan tegak.
Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama wasathiyah (tengahan), yang menolak ekstremisme dalam beragama baik dalam bentuk sikap berlebihan (ghuluww) maupun sikap pengabaian (tafrith).
Wasathiyah juga bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yakni ultra-konservatisme dan ultra- liberalisme dalam beragama.
Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi.
Wasathiyah tidak mengarah pada toleransi terhadap sekularisme politik dan permisivisme moral. Karena Islam adalah agama wasathiyah, maka ia harus menjadi ciri yang menonjol dalam berpikir dan bersikap umat Islam.
Wasathiyah diwujudkan dalam sikap sosial (1) tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap; (2) menghargai perbedaan pandangan atau pendapat; (3) menolak pengkafiran terhadap sesama muslim; (4) memajukan dan menggembirakan masyarakat; (5) memahami realitas dan prioritas; (6) menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan tertentu; dan (7) memudahkan pelaksanaan ajaran agama.
Mewujudkan Rahmat bagi Seluruh Alam (Tahqiq al-Rahmah li al’alamin) Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk mewujudkan kerahmatan itu dalam kehidupan nyata.
Di tengah-tengah maraknya pertentangan dan permusuhan di dunia ini, Islam harus dihadirkan sebagai pendorong bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan, dan di tengah-tengah situasi ketidakadilan, maka ia harus ditampilkan sebagai agama yang mewujudkan keadilan dan menghilangkan kezaliman.
Islam harus dihadirkan sebagai kekuatan yang membawa kesejahteraan, pencerahan, dan kemajuan universal.
Misi kerahmatan itu bukan saja penting bagi kemaslahatan umat manusia, tetapi juga bagi kemaslahatan seluruh makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, lingkungan dan sumber daya alam.
Manhaj Islam Berkemajuan Sebuah manhaj (cara) diperlukan untuk memahami dan memaknai ajaran agama, dan mengembangkan pemikiran keagamaan secara benar.
Manhaj Islam Berkemajuan (al-Islam al-Taqaddumi) ini digunakan agar pemahaman dan pemaknaan atas nash dan pengembangan pemikiran yang diperoleh dari al-Qur’an dan al-Sunnah dapat dipertanggungjawabkan atas prinsip-prinsip agama dan akal pikiran.
Sumber Ajaran Islam Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber utama ajaran Islam.
Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan al- Sunnah” merupakan penegasan tentang kedudukan dua sumber utama itu dalam merumuskan pandangan dan mengembangkan pemikiran keagamaan.
Penggalian terhadap makna dari dua sumber itu dilakukan dengan memanfaatkan akal, warisan intelektual, dan ilmu pengetahuan tanpa terikat pada mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab atau pendapat yang telah berkembang.
Ayat-ayat Al-Qur’an dan al-Sunnah dipahami dan dijelaskan dengan metode bayani, yakni penafsiran atau uraian yang berlandasan pada teks dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan, atau metode ta’lili, yakni pemahaman dengan penalaran atau pengqiyasan suatu kasus tertentu dengan kasus lain yang ada dalam nash berdasarkan kesamaan ‘illat, atau metode istishlahi, yakni perumusan ajaran Islam yang didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dijadikan sebagai pijakan dasar yang tetap (tsawabit), sementara pemahaman, pelaksanaan dan perwujudan atas prinsip- prinsip tersebut terbuka kemungkinan untuk berubah (imkan al-taghayur).
Al-Sunnah yang menjadi sumber ajaran Islam adalah sunnah maqbulah (yang diterima), yang diyakini secara ilmiah berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Sunnah maqbulah tersebut dapat berupa hadis shahih lidzatihi (sahih dengan sendirinya), shahih lighairihi (menjadi sahih karena diperkuat dengan bukti lain), hadis hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya), atau hasan lighairihi (menjadi hasan karena diperkuat dengan bukti lain).
Istilah sunnah maqbulah menjadi penegasan atas penerimaan hadis-hadis yang diyakini benar berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Dimensi Ajaran Islam. Islam adalah agama yang berkaitan dengan seluruh segi kehidupan manusia.
Ajaran Islam terdiri dari dimensi akidah, ibadah, akhlak dan muamalah dunyawiyah.
Ajaran akidah menyangkut keyakinan dasar agama yang wajib dipercayai oleh umat Islam.
Akidah bersumber dari wahyu, dan karena itu harus bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat, bentuk keyakinan yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Qur’an atau al-Sunnah.
Pendekatan akal terhadap akidah yang tercermin dalam tradisi kalam adalah upaya yang mungkin terus dilakukan sepanjang tidak menyimpang dari tauhid.
Ibadah adalah perwujudan dari ketertundukan seorang muslim terhadap Allah, dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an atau al-Sunnah, dan bersih dari bid’ah.
Pemahaman terhadap ketentuan itu tercermin dalam perkembangan fikih ibadah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Ajaran tentang akhlak berkaitan dengan prinsip-prinsip normatif yang menegaskan dan membedakan antara perbuatan yang mulia (al-karimah) dan yang rendah (al- radzilah) dalam hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, dan manusia dengan alam.
Ajaran tentang muamalah dunyawiyah menyangkut ketentuan bagaimana mengelola dunia ini dengan sebaik-baiknya dan menggerakkan kehidupan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
Dalam hal ajaran tentang akhlak dan muamalah ini terbuka kemungkinan yang luas untuk pengembangan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan tempat atas dasar kemaslahatan.
Pelaksanaan keempat dimensi ajaran tersebut bila dilakukan secara sungguh-sungguh dengan harapan penuh adanya bimbingan Allah SWT akan menghasilkan kekuatan yang melimpah yang diperlukan untuk mewujudkan cita- cita Islam Berkemajuan.
Tiga Pendekatan dalam memahami ajaran agama, digunakan tiga pendekatan, yakni bayani (menggunakan teks), burhani (menggunakan akal) dan ‘irfani (menggunakan hati).
Pendekatan bayani digunakan untuk memahami agama yang didasarkan atas petunjuk teks atau bahasa dari al- Qur’an dan al-Sunnah, dan merupakan pendekatan paling dasar dalam memahami agama.
Rujukan pertama untuk memahami ajaran agama berasal dari wahyu, dan kemudian akal menghubungkan persoalan baru dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh teks-teks keagamaan.
Pendekatan burhani menggunakan rasio, argumen, penelitian ilmiah, ilmu pengetahuan, dan pengalaman empiris untuk memahami ajaran agama dan menghubungkannya dengan persoalan baru yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pendekatan ‘irfani menekankan kedalaman spiritual, kepekaan nurani, serta ketajaman intuisi dan cita kearifan.
Dalam tradisi Islam, pengalaman batin itu disebut dengan dzauq (rasa), bashirah (mata batin), wijdan (gerak batin), dan sirr (rahasia).
Pendekatan ‘irfani lebih menekankan kedalaman spiritual, kepedulian sosial, kearifan untuk mempertahankan kemaslahatan, dan menghindari kemudaratan, serta untuk menghindari hal-hal yang meragukan (syubhat) dan yang jelas dilarang (haram).
Pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani digunakan secara bersamaan dalam memahami ajaran Islam sehingga dapat terlihat aneka persoalan melalui pandangan yang utuh, mendalam dan komprehensif.
Penggunaan tiga pendekatan itu dapat dilihat dalam berbagai dokumen pemikiran Muhammadiyah, seperti Teologi Lingkungan, Fikih Kebencanaan, Fikih Kesejahteraan Sosial, Fikih Tata Kelola, Fikih Zakat Kontemporer, Fikih Air, Fikih Difabel, Risalah Akhlak Islami, dan Tafsir al-Tanwir.
Ijtihad Berkelanjutan Salah satu syarat dari kemajuan berpikir dalam Islam adalah sikap positif pada ijtihad. Sikap ini dilandasi oleh beberapa prinsip, yakni (a) berorientasi pada universalitas agama Islam, (b) tidak berorientasi pada mazhab-mazhab di kalangan umat Islam, (c) terbuka dan toleran terhadap perbedaan pemikiran.
Berijtihad adalah sebuah keharusan karena peristiwa- peristiwa baru dalam kehidupan manusia senantiasa berkembang, yang sebagiannya tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam.
Sementara pada saat yang sama, teks-teks keagamaan (ayat qauliyah) sebagai landasan dasar beragama telah berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Para ulama pada masa lalu telah berijtihad dalam konteks ruang dan waktu tertentu, maka tidak ada jalan lain sekarang ini kecuali menghidupkan ijtihad sesuai tuntutan perkembangan kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) yang semakin maju dalam berbagai bidang.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan manusia, ijtihad tidak hanya bermakna menghidupkan konsep ijtihad itu sendiri, tetapi juga mengembangkan pendekatan baru dalam ijtihad, seperti ijtihad jama’i (ijtihad kolektif), yang melibatkan pakar dari berbagai bidang keahlian.
Para ahli baik lelaki maupun perempuan dalam berbagai bidang keahlian berhimpun untuk memecahkan persoalan-persoalan keagamaan yang rumit dalam kehidupan manusia.
Pemanfaatan satu ilmu tertentu semata tidak akan memadai untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang muncul.
Ijtihad juga bermakna memberikan pilihan terbaik di tengah-tengah perbedaan paham keagamaan, dan membedakan antara hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak berubah (tsawabit), dan hal-hal yang mungkin berubah (imkan al-taghayyur) yang berkaitan erat dengan ruang dan waktu tertentu.
Akal dan Ilmu Pengetahuan. Akal merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memahami wahyu (ayat qauliyah) dan gejala alam semesta (ayat kauniyah).
Akal merupakan wahana yang sangat penting dalam memahami ajaran, dan karena itu pemahaman agama tanpa melibatkan akal akan melahirkan dogmatisme yang memperkecil keunggulan ajaran agama.
Penggunaan akal akan melahirkan ilmu pengetahuan yang logis dan sistematis yang menjadi kekayaan umat manusia.
Upaya pemanfaatan ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan kemajuan peradaban dunia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peran pokok dalam hidup berkemajuan dan merupakan keutamaan manusia yang wajib diusahakan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia dalam membangun peradaban di muka bumi (Q.S. Hud [11]: 61).
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan capaian manusia yang harus dimanfaatkan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Sejalan dengan prinsip ini, sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak perlu dipertentangkan dengan agama. Bahkan sebaliknya, beragama yang tidak melibatkan ilmu merupakan keberagamaan yang terbelakang.
Peran penting ilmu pengetahuan itu juga dapat diletakkan dalam pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam.
Ilmu pengetahuan memiliki peran dalam memahami ajaran Islam yang begitu luas dan kaya inspirasi, sehingga semakin luas ilmu pengetahuan, semakin terbuka peluang untuk memahami kekayaan dan keunggulan ajaran Islam.
Sebaliknya, semakin miskin ilmu pengetahuan, semakin sempit wawasan dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Penggabungan ilmu agama dan ilmu pengetahuan dapat dilihat, misalnya, pada penggunaan Ilmu Hisab (perhitungan astronomis) dalam menentukan kalender Islam.
Ilmu memiliki fungsi penting dalam memahami ajaran agama yang seringkali menimbulkan perselisihan. Dalam rangka mengurangi dan bahkan menyelesaikan perselisihan itu, pendekatan ilmu pengetahuan memiliki peran yang sangat penting.
Dalam prinsip Islam, agama adalah sumber nilai. Pengembangan ilmu pengetahuan yang manusiawi dan memanusiakan memerlukan basis nilai yang memberikan landasan dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Nilai-nilai tauhid, ibadah, khilafah dan ilmu, misalnya, menjadi penting sebagai landasan ontologis dan epistemologis pengembangan ilmu pengetahuan, sementara nilai ishlah (transformasi sosial) menjadi penting bagi landasan aksiologis yang produk lahirnya adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Fungsi ilmu pengetahuan dalam kehidupan secara umum maupun dalam kehidupan beragama secara khusus dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) ilmu pengetahuan membantu manusia memahami persoalan-persoalan, baik yang kasat mata maupun tidak, untuk menentukan langkah-langkah kehidupan yang lebih maju; (b) ilmu pengetahuan berperan membantu manusia beragama lebih baik, khususnya ketika teks keagamaan tidak menyebutkan setiap persoalan secara eksplisit; (c) ilmu pengetahuan berperan dalam membangun jembatan antara akal dan wahyu; (d) ilmu pengetahuan berperan sebagai penyelesai ketegangan dan perselisihan di kalangan umat beragama; (e) ilmu pengetahuan membantu meningkatkan mutu hidup umat Islam dan umat manusia seluruhnya.
Mazhab Keagamaan. Dalam perjalanan kehidupan umat Islam, telah lahir berbagai mazhab yang merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memahami ajaran Islam, khususnya dalam bidang fikih, akidah dan tasawuf. Perkembangan mazhab-mazhab tersebut merupakan kekayaan yang sangat berharga untuk dikaji, dipertimbangkan dan diambil manfaatnya.
Memilih salah satu pendapat dari mazhab apa pun yang dipandang paling benar, melahirkan fatwa baru yang belum pernah ada, atau bahkan mengubah fatwa yang pernah dikeluarkan, semuanya merupakan kemungkinan yang tetap terbuka. Keterbukaan ini bermakna pembebasan diri dari sikap sektarian dan fanatik terhadap mazhab tertentu.
Dalam menyikapi mazhab atau pendapat yang berbeda-beda, jalan tarjih (mengambil yang lebih kuat) digunakan dengan memilih dalil yang kuat di antara dalil- dalil yang berbeda atau bertentangan, mencari pendapat yang lebih kuat, dan menggunakan prinsip kemaslahatan. Bersamaan dengan itu, meyakini sesuatu pendapat yang dianut dan menghormati pendapat lain adalah sikap yang paling baik.
Perbedaan mazhab atau pendapat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam harus disikapi dengan semangat ukhuwah.
Sejalan dengan sikap tidak terikat pada mazhab tertentu ini, dalam bidang tasawuf telah dibangun pandangan tersendiri.
Bentuk tasawuf yang berkemajuan adalah tasawuf akhlaqi (moral), ihsani (etos), dan ijtima’i (sosial). Ini bermakna bahwa dalam mengamalkan tasawuf seorang muslim tidak harus mengikatkan diri kepada satu aliran atau tarekat sufi tertentu, melainkan membawa sikap tasawuf dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terbatas pada persoalan ibadah.
Tasawuf akhlaqi, ihsani dan ijtima’i diwujudkan dalam bentuk-bentuk kesalehan individual dan sosial.
Semangat kedermawanan dan kesederhanaan yang berkembang di kalangan masyarakat muslim adalah perwujudan dari tasawuf semacam itu.
Dengan demikian, pemahaman dan pelaksanaan tasawuf menjadi lebih sesuai dengan keadaan dan bersifat luwes, dan lebih dari itu membawa tasawuf menjadi lebih hidup, berkembang, bersenyawa, dan menyatu dalam kehidupan duniawi.
Ini merupakan pandangan berkemajuan atas tasawuf yang selama ini dilekatkan dengan kehidupan yang menyendiri dan asosial.
Tasawuf merupakan unsur yang hadir dan menyatu dalam setiap tindakan manusia dalam semua bidang kehidupan. Kegiatan duniawi, seperti sosial, hukum, ekonomi, atau politik, semuanya harus mengandung makna spiritual.
Kemuliaan Manusia. Di tengah-tengah keragaman suku bangsa, budaya dan agama, setiap orang berhak untuk menerima pemuliaan.
Manusia adalah makhluk yang dimuliakan dan diciptakan oleh Allah SWT dengan struktur terbaik, dan karena itu menyandang mandat untuk menjadi hamba (‘abd) dan wakil (khalifah) Allah di muka bumi (Q.S. al-Isra’[17]: 70; Q.S. al-Tin [95]: 4; Q.S. al-Ahzab [33]: 72). Semua manusia diciptakan dengan fitrah yang sama dan lahir dalam keadaan setara, dan kemudian perjalanan hidup merekalah yang akan menentukan apakah mereka tetap berada dalam fitrahnya atau sebaliknya.
Islam adalah agama yang memuliakan manusia, dan karena itu memahami ajaran agama haruslah diletakkan pada prinsip meninggikan derajat, martabat dan marwah manusia.
Ajaran agama tentang pentingnya pengetahuan, akhlak mulia, kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan penghargaan terhadap kemanusiaan, menjadi aspek-aspek yang sangat penting dalam merumuskan pandangan agama yang memuliakan manusia.
Islam mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak tergantung pada jenis kelaminnya atau kebangsaannya. Lelaki dan perempuan dari bangsa apapun memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia mulia dan memberikan perkhidmatannya dalam semua lapangan kehidupan. Nilai seseorang di hadapan Allah ditentukan atas dasar ketakwaannya.
Unduh Risalah Islam Berkemajuan
Muchamad Arifin
Ketua LDK PWM Jatim