Lensadakwah.com – Seperti diceritakan putra Pak AR, Syukriyanto dalam buku ‘Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR’, saat itu Pak AR baru sekitar 18 tahun dan ditugaskan Muhammadiyah untuk berdakwah di Ulak Paceh, Palembang. Di sana, Pak AR muda bertemu seorang ulama terkenal dan disegani namun disebut sangat membenci dan bersikap sinis terhadap warga Muhammadiyah.
Setiap mau mengajar, Pak AR selalu lewat depan rumah ulama tersebut dan memberi salam kepadanya. Namun salam Pak AR selalu bertepuk sebelah tangan.
Meski ulama itu tidak peduli, Pak AR terus memberi salam setiap kali bertemu ulama tersebut. Lama kelamaan salam Pak AR dijawab, walau hanya dibalas dengan ucapan ‘Salam’ atau ‘lam’. Meski begitu tak ada sebersit pun rasa sesal dalam diri Pak AR.
Karena mendapat lampu hijau, Pak AR semakin semangat mengucapkan salam kepada ulama tersebut setiap kali bertemu. Hingga akhirnya ulama tersebut mau juga menjawab secara lengkap, disertai senyum.
Merasa mendapat jawaban salam secara lengkap, Pak AR menghentikan langkahnya dan menjabat tangan ulama itu sambil tersenyum pula hingga terjadi percakapan.
”Apa guru orang Muhammadiyah (di Ulak Paceh, Pak AR biasa dipanggil dengan sebutan guru)?” tanya ulama tersebut.
“Ya, saya orang Muhammadiyah yang pernah belajar di Darul Ulum Muhammadiyah Yogyakarta,” jawab Pak AR.
“Jadi guru benar-benar orang Muhammadiyah?” desak ulama.
“Ya, saya orang Muhammadiyah.”
“Lha, kok baik?” balas Ulama keheranan.
“Siapa bilang orang Muhammadiyah tidak baik?” Pak AR tersenyum.
“Ya, kata orang-orang, Muhammadiyah itu Wahabi, suka mengubah agama dan mengafirkan orang lain,” ucap ulama tersebut.
“Itu kan kata orang-orang. Tapi Angku kan sudah melihat sendiri saya ini orang Muhammadiyah, bukan hanya kata orang-orang,” kata Pak AR bercanda.
“Kalau begitu, besok malam Jum’at, guru saya undang Yasinan. Bagaimana?” pinta ulama.
“Baik, Insya Allah,” Pak AR menyanggupi walau beliau sedikit bingung karena merasa tak pernah diajari Yasinan.
Pak AR pun diminta memimpin pengajian Yasinan…
Memimpin Yasinan
Pak AR pun gamang untuk menerima undangan. Bermacam pikiran mengganggu benak Pak AR, salah satunya kekhawatiran jika disuruh memimpin Yasinan, padahal ia belum pernah ikut dan belum tahu prosesi Yasinan.
Di tengah kekhawatiran itu, muncul ide yang menurut Pak AR relevan. Tibalah malam Jumat yang dijanjikan. Pak AR menghadiri undangan Yasinan.
Dugaan Pak AR benar. Beliau diminta memimpin Yasinan. “Selama ini Yasinan-nya seperti apa?” tanya Pak AR pada jamaah.
Ya, seperti biasa,” jawab hadirin.
“Jadi bapak-bapak sudah bisa dan hafal semua?”
“Ya, sudah hafal.”
“Baiklah, kalau begitu sekarang kita Yasinan model baru supaya kita punya pengalaman baru. Setuju?” tanya Pak AR.
“Setuju!” jawab hadirin kompak.
Dibacalah ayat pertama, dan salah seorang diminta untuk mengartikan. “Kalau tidak bisa akan saya bantu,” kata Pak AR.
Usai mengartikan, Pak AR menjelaskan apa itu Surah Yasin yang sering dibaca, apa arti dan maksud ayat-ayatnya. Jamaah pun menganguk-angguk
Muhammadiyah
Meski hanya satu dua ayat yang dibahas pada acara Yasinan itu, para jamaah puas dengan “Yasinan model Muhammadiyah”. Bahkan ada permintaan agar dilanjutkan saat Yasinan mendatang.
“Bagi saya, terserah hadirin saja. Tentunya keputusan ada pada tetua kita Al-Mukarom Angu Ulama,” balas Pak AR sembari menebar senyum.
Anehnya, ulama itu menyetujuinya. Meski begitu, untuk lebih baiknya, Pak AR meminta agar pelaksanaannya diselang-seling.
Pada Jumat malam gasal, Yasinan model lama dipimpin Angku Ulama; sedangkan pada Jumat malam genap Yasinan model baru diisi oleh Pak AR.
Lama kelamaan, sang ulama menyerahkan tanggung jawab pada Pak AR sebagai pemimpin Yasinan. Selanjutnya, Yasinan tidak lagi berlangsung seperti hari-hari sebelumnya, melainkan berganti sebagai pengajian tafsir Alquran.
Sumber : Agus Tri Sundani. Wakil Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PP Muhammadiyah