Lensadakwah.Com,- Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bubutan Menyelenggarakan Sholat Idul Adha di halaman kantor gubernur Jawa Timur. Jl. Pahlawan 110 Kota Surabaya. Rabu (28/06/2023)
Hadir sebagai Khotib adalah ustadz Dr. Zainuddin MZ dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Sholat Ied ini dihadiri ribuan masyarakat sekitar baik dari kecamatan Bubutan, Krembangan, dan Genteng juga sekitarnya.
Dalam khutbahnya ustadz Zainuddin MZ. Yang juga ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur. Menyampaikan dengan tema pesan moral dalam lempar jumroh.
Salah satu ritual terkait manasik haji adalah melontar jumrah. Baik jumrah ula, jumrah wustha maupun jumrah aqabah.
Sejarah syariat melempar jumrah adalah pelemparan Nabi Ibrahim as. kepada setan yang mengganggu untuk menjalani pengorbanan atau penyembelaihan terhadap putranya, Nabi Ismail as.
Saat detik-detik pisau telah diletakkan di leher sang anak kesayangannya itulah, terdengar suara langit agar Nabi Ibrahim as. menghentikannya. Cukuplah ujian bagimu wahai Ibrahim, hentikan tanganmu. Dan akhirnya oleh Allah swt. memerintahkan Nabi Ibrahim agar menggantikan dengan penyembelihan ternak qurban.
Adakah pengorbanan yang lebih berat daripada pengorbanan Nabi Ibrahim as. terhadap anak kandungnya sendiri?
Maka atas dasar besarnya pengorbanan Nabi Ibrahim as. Itu, dia mendapatkan gelar kholilullah atau kekasih Allah.
Pada akhirnya praktik Nabi Ibrahim as. dalam melontar jumrah menjadi salah satu dari syariat manasik haji, yang akhirnya ditetapkan oleh Rasulullah saw.
Sesungguhnya dalam syariat melontar jumrah ini terkandung pesan moral agar manusia menjadikan setan-setan itu sebagai musuhnya. Setan-setan itu layak untuk dirajam, sehingga kehidupan manusia jauh dari perilaku setan.
Firman Allah swt.
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah dia itu sebagai musuh kamu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Qs. Fathir: 6).
Islam selalu memberikan solusi terbaik bagi pemeluknya. Berbagai terapi telah diajarkan langsung oleh Rasulullah saw. agar kita dapat menyelesaikan masalah tanpa masalah, dan dapat menyelesaikan masalah secara tuntas sampai pada akar masalahnya. Jika ada manusia yang menyembah sapi, maka mereka disyariatkan untuk menyembelih sapi. Lalu masihkah mereka tetap menyembahnya sesuatu yang telah mereka sembelih sendiri?
Jika dalam kondisi perut kosong atau berpuasa, maka mulut akan berbicara tak terkontrol dan penuh emosional, maka Islam mengajarkan saat berpuasa tidak diperbolehkan teriak-teriak dan mengucapkan kata-kata kotor. Lalu adakah terapi yang lebih mumpuni dari itu?
Jika manusia masih saja sulit untuk hidup berkompromi dengan berbagai kemaksiatan, maka biang kemaksiatannya (yakni setan-setannya) dilempari sedemikian rupa, maka masihkah dia berteman akrab dengan syetan? Dan begitu seterusnya.
Walaupun melempar jumrah itu simbol dari melontar setan, yang pada akhirnya diharapkan pola hidup kita jauh dari perilaku syaitaniyah, namun Rasulullah saw. tetap memberikan keteladanan dalam batas-batas yang wajar dan tenang.
Batu yang dilontarkan adalah “hashat” (yakni batu ukuran kecil yang bisa dipegang dengan dua jari), bukan batuan besar apalagi tongkat dan sebagainya.
Cara melemparkanya pun dengan tenang dan tumakninah.
Sehabis melontar jumrah, maka Nabi Muhammad saw. memberikan peringatan kepada umatnya, agar mencontoh dari pribadinya dalam melontar jumrah. Mewanti-wanti umat agar jangan berlebihan dalam urusan beragama. Karena hal itu telah menghancurkan umat-umat sebelumnya.
Dinarasikan Ibnu Abbas ra. Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah berlebih-lebihanan dalam urusan agama. Sesungguhnya sikap seperti itu telah menghancurkan umat sebelum kalian. Yakni sikap berlebihan dalam urusan beragama.
Hr. Ibnu Hibban: 3871; Nasai: 3057; Ibnu Majah: 3029; Ahmad: 1851.
Semestinya pesan moral dari syariat melempar jumrah agar manusia dapat menjahui dari perilaku syaitaniyah, kini justru berbalik. Karakter syaitaniyah tambah melekat pada dirinya. Ia melempar jumrah bukan lagi dengan rambu-rambu bimbingan Rasulullah saw., melainkan dengan nalarnya sendiri. Yang dilembarkan bukan lagi “hashat”, melainkan batuan besar, alas kaki, tongkat dan sebagainya. Melontar jumrah pun bukan lagi dengan tumakninah, melainkan dengan emosianal dan tak pandang teman.
Akibatnya, bukan kemaslahatan yang didapatkan, justru kehancuran yang menjadi akibatnya. Batapa banyak yang menjadi kurban akibat ulah kita sendiri. Dalam kamus menjalani ketaatan, seharunya pelakunya mendapatkan kenikmatan, dan lingkungannya kecipratan mendapatkan rahmat, bukan sebaliknya, ia meraskan kenikmatan, namun temannya menjadi kurban akibat perbuatannya.
Semoga umat ini segera menyadari, agar dalam menjalani ketaatan apapun selalu sinergi dengan bimbingan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw.
Penulis : Dzanur Roin